Ditegur Kakek Tua
Ditegur
Kakek Tua
“Cepet pulang Det”
“Udah di sini kok”
“Yuk Main. Malam nanti
di Masjid ya.”
Begitu sambutan hangat dari
teman yang telah kukenal sejak menempuh sekolah dasar. Bukan pusat hiburan, bukan
taman, bukan pula kafe langganan. Melainkan memanfaatkan malam di Masjid pada
sisa-sisa akhir Ramadan.
Tanpa pikir panjang,
kusetujui ajakan itu.
Kukira banyak anak sekitar
yang menggerakkan roda perekonomian dengan bermain petasan. Tapi justru seluruhnya
tengah melantunkan kalam-kalam suci Alquran. Belasan—bahkan terbilang
puluhan—duduk bersila di bawah terang rembulan. Satu persatu jamaah praktik mengaji
secara bergiliran, sembari diselingi oleh Ustadz yang memperbaiki beberapa
bacaan.
Agenda kemudian
dilanjutkan dengan ceramah yang diawali dengan jawaban atas pertanyaan jamaah:
“Hukum meminum air kencing unta” yang tempo hari belum dapat ditemukan
jawabannya. Lembaran berisi jawaban tersebut juga disebar ke seluruh jamaah.
Karena tinta yang kurang baik, beberapa jamaah bahkan menyalakan senter dari
ponsel untuk menerangi beberapa bait kata yang tidak dapat terbaca.
Bagi sebagian orang,
mungkin pertanyaan itu terkesan bodoh untuk menjadi objek pertanyaan. Tapi
kekaguman kusampaikan pada sang Ustadz yang memilih untuk mencari terlebih
dahulu jawabannya. Padahal kalau ia mau, ia bisa saja mengutarakan pendapat
pribadinya semata-mata demi memuaskan rasa penasaran jamaah. Tapi hal tersebut nyatanya
tidak ia lakukan. Karena ia tahu, bahwa ia sedang menyiarkan agama yang tidak
bisa dikarang sesuai dengan keinginan hatinya.
Dari pemandangan pada
malam itu, mataku tertuju pada seorang kakek tua.
Dari perawakannya, kakek
itu nampak sudah lanjut usia. Mengenakan peci dan pakaian berwarna putih, ia duduk
melipatkan kakinya sebagai sandaran. Bukan karena terlelap tidur, melainkan pada
kakinya tersandar buku untuk menulis kata demi kata yang terucap dari mulut
sang Ustadz. Dari kejauhan, kulihat ukiran tulisannya yang memanjang
memanfaatkan habis ruang kosong pada setiap lembaran kertas sembari menulis
dengan tergesa-gesa agar tetap bisa mengikuti alur pembicaraan.
Dari peristiwa itu, aku ditegur
akan kerendahatian dan kesederhanaan.
Kakek Tua itu menegurku
tentang kerendahatian,
Bahwa di usianya yang
sudah renta, ia tidak malu untuk mengais ilmu. Ia tidak mempermasalahkan
rentang umur yang terpaut jauh antara sesama jamaah—bahkan dengan ustadz itu
sendiri. 81 tahun adalah umurnya, yang baru kuketahui sesaat setelah ia
menerima penghargaan dari pihak panitia sebagai jamaah yang tekun memanfaatkan
sepuluh malam terakhir Bulan Ramadan. Padahal kalau saja ia mau, mungkin duduk
manis di rumah sembari menceritakan segudang pengalaman kepada anak-cucunya
merupakan pilihan yang lebih baik baginya.
Kakek Tua itu menegurku
tentang kesederhanaan,
Bahwa benar,
kesederhanaan sejalan dengan kecukupan. Karena kecukupan, adalah usaha untuk tidak
memperbanyak kebutuhan. Semakin sedikit kebutuhan kita, maka semakin mudah pula
kebahagiaan yang akan kita temukan. Bila kita biasa mengisi kebutuhan lahiriah
kita dengan menghabiskan malam-malam akhir Ramadan memburu diskon Hari Raya,
tapi tidak dengannya. Ia mencukupkan dirinya dengan menggendong tas berisi buku
dalam rangka memburu Lailatul Qadr yang menjadi kebutuhan
batiniahnya.
Sedang aku?
masih saja sulit
menerima nasihat,
padahal amat pandai
menasehati.
Sedang aku?
masih saja hebat
bertutur kata,
padahal amat buruk dalam
bertindak.
Sedang aku?
masih saja cerdas
berkritik,
padahal lemah dalam
memperbaiki diri sendiri.
Sedang aku?
masih saja sering merasa
benar,
padahal di atas sana ada
Sang Maha Benar.
Walaupun begitu, tidak ada kata terlambat dalam bertaubat. Tidak ada salahnya menahkodai takdir muallaq : kesucian hati dengan sebesar-besar usaha dalam menggapai Ridha-Nya. Mari senantiasa melihat orang lain dengan pandangan dan prasangka yang baik. Mari tepikan karakter egosentris kita kala belajar pada siapapun untuk mengambil hikmahnya. Mari cukupkan tidak hanya kebutuhan lahiriah kita, melainkan kebutuhan batiniahnya juga.
Alhamdulillahi’ala
ni’matil hidayah.
Terima
kasih, Kek. Telah menegurku dengan sebaik-baiknya peraga.
Tidak ada komentar: