Terus Beranjak
Kala rasa bosan menyapa, jemariku mengarahkanku untuk membuka potret-potret kenangan yang tersimpan di gawai pribadiku.
Dari tempatku tumbuh dan berkembang, kurasakan riuhan angin yang menderu dan mendesirkan ombak ke arahku melangkah. Menggerakkan kincir dari lembaga swadaya bernama Lentera Bumi Nusantara. Memberdayakan masyarakat dengan berbagai program kemandirian energi dan pangan melalui jejaring pedesaan.
Dari lereng Papandayan, aroma belerang mengawali perjalanan kami menapak atap negeri. Hujan deras yang tak hentinya turun juga membuat kami bingung karena rasa dingin ini benar-benar tak berujung. Di tengah suara perut yang kian berdengung, makanan malam utama kami adalah sup jagung. Tanpa sebutirpun nasi yang menemani kami sebagai pengisi energi. Haduh. Lengkap sudah penderitaan kami.
Dari hamparan hijaunya Suryakencana, kami berbaring melepas lelah, seolah menjadikan kami Dandelion yang siap terhempas ke antah-berantah. Tertakjub menikmati rindangnya pohon yang tumbuh lebat padahal di bumi lain telah habis terbabat. Merasakan dingin yang menembus sukma terdalam, padahal pada waktu yang bersamaan cuaca terasa panas enggak karuan.
Dari kolong langit Sindoro, kami diapit oleh awan tebal yang tak lagi menutupi kami dari teriknya mentari. Buah Jeruk menjadi salah satu makanan yang melepaskan kami dari dahaga yang berkesudahan. Hingga kecupan terakhir, tersisa rasa penyesalan karena tak banyak yang kami bawa ke puncak.
Dari
Pulau Jawa bagian selatan, aku memandang Nusa Kambangan dengan rasa gamang.
Teringat dulu kala salah satu pimpinan matra bercerita, bahwa armadanya
berenang melintasi lautan. Tatapan nanar itu berlanjut dengan gelak tawa—menertawakan
kepayahanku yang berenang saja tidak bisa kala itu.
Dari
Utara Jakarta, aku menyadari bahwa lautan tidak seburuk yang aku pikirkan.
Puluhan kilometer lepas dari pesisir pantai, kunikmati warna biru langit dan
laut yang seolah saling tertaut. Dari pulau ke pulau, kuamati pula riuh
kehidupan perahu-perahu logistik yang tak hentinya terus disalurkan. Cara
mereka hidup dan menghidupi keluarganya, jelas menjadi pelajaran yang berharga–setidaknya
bagiku yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang serba ada.
Dari Bumi Laskar Pelangi, sekolah ikonik itu menjadi destinasi yang tak boleh terlewatkan di samping bebatuan besar yang berada di pesisir pantai. Alunan lagu dari anak-anak yang mendendangkan lagu khas Belitung jelas meraut kembali senyum yang sempat hilang setelah mengetahui bahwa pada beberapa tempat, sebagian pesisir pantai diprivatisasi atas nama investasi.
Dari
Tana Toraja, penumpang bis berhamburan setelah duduk selama sepuluh jam lamanya
dari Makassar. Disambut kerbau dan babi yang diperdagangkan menjadi komoditas
pasar, jelas saya gusar. Kalau diseruduk, nanti bisa bikin sasar. Tapi tidak
apa-apa. Melihat tebing yang menjulang tinggi berisi pemakaman menjadi obat tersendiri—sebab
terkagum dengan keyakinan teguh yang mereka pegang secara turun temurun diri
leluhurnya.
Dari bumi Sumatera yang pernah dipropaganda Belanda, aku bersyukur karena baru menyadari suburnya tanah tempatku berpijak. Dari moda transportasi pesawat hingga sepeda, kuamati hamparan perkebunan sawit yang begitu luasnya. Kuamati pula pipa-pipa gas yang menjadi pagar sepanjang jalanan. Sepanjang itu pula aku berharap, mudah-mudahan kekayaan alam ini digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya.
Dari
suasana Bukittinggi, kunikmati udara sejuk kala fajar baru menggapai bibir
bentala, hingga malam pukul dua, kala ayam masih tertidur tak terdengar
nyaringnya. Menapak tilas pada perayaan seratus dua puluh tahun Hatta, hingga
menepi dari hingar-bingar perkotaan menuju lereng gunung singgalang. Bersua dengan
para perdagang, bercerita tentang apapun yang bisa merekatkan.
Dari daerah yang kulinernya tersebar di seluruh pelosok negeri, kurasakan nikmatnya makanan dan ukhuwwah kala sahabat lamaku menyambutku dengan penuh hangat di tempat perantauannya itu. Dari pagi hingga menjelang senja yang membawaku pulang, pemandangan lautan yang indah tiada tandingannya membuatku berani melawan rasa takutku dulu untuk berenang di lepas lautan. Membuktikan tesisku dulu, bahwa sejatinya setiap dari kita terus beranjak, bertumbuh, dan berkembang.
~~
Dari
satu langkah ke langkah lainnya, setiap perjalanan memberi makna pada kehidupan.
Jelas bahwa panorama alam membuatku takjub akan nikmat Tuhan. Terang juga bahwa
ribuan manusia yang kutemui memiliki ragam kebudayaan. Namun, justru ada satu
hal penting yang sering kali luput dari perhatian.
Yaitu
merasakan semuanya dengan penuh ketenangan.
Ya,
rasa tenang.
Tenang, kala mendengar kicauan burung serta
margasatwa yang elok rupanya.
Tenang, kala notifikasi gawaimu mati –jauh
dari hingar-bingar panggilan dan pertemuan.
Tenang, kala melempar senyum pada mereka –yang
bahkan belum pernah sekalipun bertemu denganmu.
Tenang,
kala dihadapkan pada beragam pilihan.
Akan
selalu ada tradeoff antara melintasi dan menikmati. Antara menyewa
pemandu dengan berjalan tak padu. Berjalan sendiri lebih bebas, berjalan bersama
mendapatkan wawasan yang luas.
Tenang,
kala mampu memaknai setiap inspirasi yang datang silih berganti.
Akan
selalu ada inspirasi yang kamu temukan di tempat perantauan. Akan selalu
ada percakapan yang menyadarkanmu, akan ragamnya profesi kerah biru. Akan
mulianya pejuang Rupiah, di mata keluarga yang menunggunya—rumah.
Dan tenang, kala memandang dunia—tanpa memedulikan
bagaimana dunia memandangmu.
Tak pernah haus akan validasi –dengan menjauhkan
diri dari foto story. Tanpa resah perlu menilik, berapa ratus orang yang
menyukai unggahanmu. Tanpa memusingkan, apakah orang yang kamu kagumi, juga turut
menikmati kebahagiaan sama seperti yang tengah kamu alami. Padahal, belum
tentu juga mereka peduli.
Bukankah,
Kita
patut bersyukur untuk tidak menjadi orang yang terkenal?
Karena
untuk melangkah ke luar rumah saja, banyak paparazzi menanti.
Bukankah,
Tidak
pernah ada istilah healing, tapi berangkat dengan perasaan yang carut-marut?
Merasa
tak menentu, memenjarakan diri sepanjang hari dengan perasaan sengkarut.
Bukankah,
Tidak
pernah ada istilah beranjak, tapi dengan perasaan penuh sesal?
Menyesal
meninggalkan pekerjaan. Was-was bila penggantimu tak mampu dan terjadi hal-hal
yang tak kamu inginkan.
Teruslah
beranjak.
Lupakan
pekerjaan yang tiada habisnya. Sejenak beri kesempatan pada diri untuk terus beranjak
dari langkah ke langkah hingga dihampiri rasa lelah. Menikmati lelah itu,
hingga saat penghujung masa tetap meneduh di sana, hanya karena tak ingin masa
merebut suasana—yang terlanjur menetap dalam sukma.
Abadikan
momenmu seperlunya. Leave the phone, live the moment. Tunda saja dulu
kemauanmu untuk sibuk memikirkan foto mana yang hendak diunggah serta merta,
tetek-bengek caption manis yang perlu dirangkai, dan kuota yang harus
dibeli—hanya demi eksistensi diri.
Jangan
habiskan waktumu untuk hal-hal yang bisa kamu lakukan di lain waktu. Jelajahi
setiap sudut mati, hingga dari sudut pandang yang tinggi, kamu akan memandang
kendaraan yang nyaris tak terlihat sama sekali sepanjang jalanan yang tak lebih panjang dari ujung jari.
~~
Teruslah
beranjak,
hingga
menemukan makna rumah:
Tempat
yang nyaman kala ditinggali, dan terasa asing kala ditinggalkan.
dan,
Teruslah
beranjak,
hingga
menemukan jawaban atas pertanyaan:
Kapan terakhir kali menikmati waktumu, hanya untuk dirimu sendiri?
Tidak ada komentar: