Saling Bicara
“Kita
bahkan belum saling bicara”
Begitu
ucapan yang disampaikan Marco Bodt – salah satu Prajurit Bangsa Eldia di
Paradis – sesaat sebelum kematiannya yang tragis. Marco mati dihabisi titan
sesuai rencana Annie, Bertoldt, dan Reiner (Bangsa Marley yang menyusup dan
hendak memusnahkan Bangsa Eldia di Paradis) – karena panik setelah Marco
mengetahui rencana busuk mereka. Padahal Marco merupakan kawan baik semua prajurit
termasuk Annie, Bertoldt, dan Reiner itu sendiri. Saat dihabisi titan pun, mereka
bertiga dirundung ragu dan air mata saat melihat Marco dilahap titan meski Marco
adalah musuh bangsanya.
Kita
bahkan belum saling bicara. A simple yet meaningful words.
Andaikan
keinginan Marco tersebut dilakukan, mungkin tidak akan ada lagi malam yang
diisi dengan rasa ketakutan. Mungkin tidak akan ada pertikaian yang hanya
berujung pada kebencian. Dan mungkin tidak akan ada pengkhianatan, balas
dendam, dan pertumpahan darah antarbangsa Marley dengan Eldia. Pertikaian –
pertikaian tersebut idealnya dapat dihindari dengan saling terbuka. Terbuka
akan setiap permasalahan, yang mungkin dapat diselesaikan dengan saling
bicara.
Sayangnya,
saling bicara tidak semudah seperti apa yang menjadi cita. Selalu ada
penghalang tak kasat mata yang menghalangi kita dari segala upaya untuk membuka
pembicaraan. Sekadar untuk membuka topik, kita selalu beralasan bahwa biarkan
lawan bicara dahulu yang menyampaikan tabik. Biarkan lawan bicara yang melempar
senyum dahulu, baru kita balas meski dengan muka menggerutu. Berbisik dengan
penuh keraguan, khawatir ada informasi dari kita yang hendak digali dan
disebarluaskan. Pada akhirnya, walau dua insan itu saling berhadapan, nyatanya mereka
justru berpunggungan.
Sering
saya sebut dari jurnal terdahulu,
bahwa jarak terjauh kedua insan,
bukanlah
mereka yang berbeda benua,
bukan
juga mereka yang berbeda ketinggian,
tapi
justru kala mereka saling berdekatan,
namun
saling berpunggungan.
Mengapa?
Karena mereka harus mengelilingi bumi seutuhnya
hanya
untuk saling bertatap muka.
Memelihara
Ego
Adalah
ego. Penghalang tak kasat mata yang tumbuh besar mengiringi setiap langkah
kita. Kala kita masih belia, ego menyiratkan dirinya dengan sikap kita yang menyalahkan
benda mati saat kita terjatuh. Pada beberapa kesempatan, lingkungan sekitar
kita terkadang memelihara ego kita dengan turut menyalahkan benda mati hanya
demi membuat tangisan kita berhenti. Andai benda mati itu bisa bicara, mungkin,
“Salah ku apa?” adalah kalimatnya yang diucapkan pertama.
Kebiasaan
– kebiasaan sederhana itu lantas membuat ego kita terpelihara seiring dengan tumbuh-kembangnya
kita. Kala remaja, ego kian menampakkan dirinya dengan enggan memaafkan sesama
– meski bisa saja kesalahannya justru terletak pada kita. Dengan jemawanya, kita
tak jarang menjadikan asumsi liar kita menjadi sebuah justifikasi tanpa
sedikitpun berniat untuk melakukan klarifikasi. Hingga akhirnya, ego kian
memuncak manakala kita menapak dewasa. Ia seolah mendikte kita agar selalu
menomorsatukan kita pada setiap permasalahan–yang mungkin tidak perlu
dibesar-besarkan.
~
Kala
Bicara Sesulit Diam
Masih
ingat betul kala tokoh besar bangsa ini mengutarakan, “Speech is Silver,
Silence is Golden.” melalui unggahan jejaring facebooknya. Bagiku, ungkapan
itu ada benarnya juga. Terhadap segala pertanyaan yang dialamatkan kepada kita,
bicara tak melulu harus menjadi jawaban. Diam justru dapat menjadi tanggapan
terbaik, yang bisa menyiratkan jawaban tanpa perlu bertutur untaian kata.
Walaupun
begitu, kala bicara sesulit diam, maka mengutarakan adalah pilihan yang tak
kalah baiknya. Saat pikiran terlampau sesak, memendam tentu tidak selamanya
bisa menjadi pilihan. Utarakanlah pada ayah – ibumu. Bila tak sanggup, utarakanlah
pada teman sebayamu atau siapapun yang kamu percayai.
Jangan
pernah sekali – kali membiarkan egomu terpelihara dengan menganggap bahwa kamu
tidak memiliki kawan bicara. Manusia hakikatnya adalah makhluk sosial yang
setidaknya pernah menemui manusia lainnya meski baru bertemu setelah puluhan
tahun pengelanaan seperti Adam dan Hawa.
Kamu
punya teman atau bahkan pengagum setia yang mungkin selama ini sering kamu
abaikan. Utarakanlah selagi ada kesempatan. Sampaikan kasihmu, perasaanmu, atau
apapun yang menjadi keluh-kesahmu meski kawan bicaramu itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan masalahmu itu. Karena jika kamu menemukan kawan bicara
yang baik, maka pikiranmu tak akan lagi sesak meski ia hanya mendengarkan tanpa
disertai dengan jawaban.
Mau sampai
kapan?
Mau
sampai kapan kamu berasumsi liar tanpa sudi melakukan klarifikasi?
Membiarkan
egomu tumbuh dan berkembang, melakukan justifikasi bahwa asumsi – asumsi liar
itu benar tanpa pernah sekalipun terbesit untuk melakukan klarifikasi.
Mau
sampai kapan kamu menunda mengirim pesan, seolah meramal bahwa pesan itu takkan mendapatkan
balasan?
Membiarkan
egomu tumbuh dan berkembang, memudarkan hubungan karena terlalu lama memikirkan
kesan nan menyesakkan pikiran pada hal – hal yang tidak perlu dirisaukan.
Mau
sampai kapan kamu mengabaikan pesan dari seseorang, hanya karena tak tahu lagi apa
yang hendak dibicarakan?
Membiarkan
egomu tumbuh dan berkembang, menganggap ringan setiap pembicaraan yang sering
kali dianggap nirmakna. Padahal, kamu tak tahu seberapa besar upayanya untuk sekadar
mempertahankan pembicaraan denganmu.
dan..
Mau
sampai kapan kamu ingin confess crush tapi enggak berani?
Membiarkan
egomu tumbuh dan berkembang, enggan memulai pembicaraan – hingga akhirnya
melihat potret orang yang kamu sukai bahagia di pelaminan dengan lain insan.
Belum
tentu ada kesempatan kedua. Utarakan segala perasaan dan keluh-kesahmu dengan
saling bicara. Semoga saja, hubunganmu dapat senantiasa terjaga – karena berhasil
merobohkan penghalang tak kasat mata yang dulu sering kamu pelihara.
Bicaralah
– selagi ada kesempatan (:
beuuhh,, keren kali daankk,,,,
BalasHapusTerima kasih Kak Wiiin
Hapus“Bicaralah selagi ada kesempatan.” Gimana kalau yang bersangkutan bahkan tidak memberikan kesempatan itu...?
BalasHapusPertanyaan sulit dan bagus, Anon.
HapusMungkin saranku, beri jarak sejenak untuknya berpikir.
Beri batas waktu untuknya menanggapi. Jika dalam batas waktu itu ia memberi ruang, pakailah sebaik-baiknya untuk mencoba bersua. Namun, jika dalam batas waktu ia tak kunjung menjawab, jangan terus dicecar dan dikejar juga.
Mungkin itu caranya bahagia.
Semangat selalu, Anon!