Bertumbuh
Bertumbuh.
“Gambaran
– gambaranmu ini bagus banget. Pernah kepikiran buat selling it in any
marketplace, atau misal buka jasa lukis, nggak?” ujarku setelah terkagum
melihat hasil lukisan digital saudaraku Farras yang tengah duduk di bangku kelas
12 SMA.
“Pernah
denger istilah Art Block?” balasnya demikian. Seolah mengabaikan
pertanyaanku tentang ingin—tidaknya ia menjajakan jasanya secara daring.
“Um, kayak buntu pas ngelukis gitu
ga sih? Tiba – tiba blank gitu?” jawabku penasaran.
“Ya kadang hilang motivasi di
tengah jalan. Takut nggak bisa menuhin ekspekstasi orang - orang.”
Kalimat terakhir yang ia sampaikan,
kembali mengingatkanku pada pengalaman yang pernahku alami dulu.
“Det, katanya kamu jago ngedit?
Ikut jadi panitia di acaraku, yuk!”
“Det, kamu tinggal selangkah lagi
inimah bisa langsung nyabet mapres.”
“Dete, nyalon pemira ya nanti.”
“Dete, aku belum nemu sosok yang
pas buat jadi menteri kominfo, terus aku kepikiran Dete. Kira – kira berkenan
nggak Det?”
~
Ucapan – ucapan di atas adalah
beberapa dari sekian banyak wujud kepercayaan. Mulanya memang menyenangkan. Mendapatkan
tawaran – tawaran itu menandakan bahwa kita dianggap mampu – meski nyatanya belum
tentu.
Coba bayangkan. Bagaimana mungkin
seseorang berani menaruh kepercayaan, hanya karena melihat seseorang dari
permukaan? Tanpa menelisik lebih lanjut dari keahlian, tutur perkataan maupun
tindak – tanduk perbuatan?
Coba bayangkan. Bagaimana mungkin
seseorang berani menaruh kepercayaan, hanya dari tutur kata lain insan? Yang
bahkan pada beberapa kesempatan, seringkali menepikan realita keahlian
seseorang lainnya, hanya karena lebih percaya pada kita–yang bahkan belum tentu
seahli orang yang ditepikan itu?
Pada akhirnya, kepercayaan –
kepercayaan itu tidak jauh dari sekadar harapan. Berharap bahwa kita bisa
mengemban kepercayaan sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Kita jadi terkungkung
dan terbelenggu hanya karena takut tidak bisa memenuhi apa yang mereka ekspekstasikan. Hari demi hari dijalani dengan penuh keraguan, kehilangan jati diri, dan
pada akhirnya berujung pada ketidakpuasan. Orientasipun berubah
secara perlahan. Dari mulanya bekerja dengan hati, seiring waktu berganti peran
menjadi pemuas imaji.
~
Menjadi diri sendiri
Tidak semua kepercayaan yang datang
silih berganti itu perlu kita sanggupi. Menjadi diri sendiri adalah kunci
menuju kebahagiaan yang hakiki. Kunci untuk menghindarkan kita, dari segala
bentuk kekecewaan yang mungkin kelak akan kita terima.
Boleh saja kita memberikan
kesempatan kepada waktu untuk berpikir sejenak. Menimbang – nimbang apakah
tawaran yang datang, lebih baik kita terima atau kita tolak. Yang jelas, jangan terus
mengelak hingga membuat jati diri dan impian kita kian terserak.
At what time can’t solve, you have
to solve by yourself.
Sesegera mungkin berani mengatakan
‘tidak’ pada sesuatu yang dapat mengaburkan jati diri dan impian kita, bukanlah
hal yang buruk. Kita tidak bisa membiarkan tawaran - tawaran itu terus berlarut
– larut. Karena kita jua memiliki mimpi untuk digapai, bukan hanya sekadar untuk
membuat orang lain terbuai.
Bertumbuhlah
Bertumbuhlah dari waktu ke waktu
untuk menjadi versi terbaik dari dirimu. Jangan pernah berubah demi kepuasan
yang semu. Kamu tidak memiliki kewajiban untuk selalu memenuhi hasrat lain
insan yang merayumu untuk mengubah haluanmu. Bila merayakan hari ulang tahun dengan
satu mangkuk bakso adalah standar kebahagiaanmu, maka lakukanlah tanpa penuh ragu.
Jangan hanya karena menilik temanmu yang merayakan ulang tahunnya dengan Shabu,
lantas kamu juga ingin melakukan hal yang serupa hanya demi sebatas eksistensi diri.
Kita adalah pilot dari pesawat yang
kita tumpangi. Di manapun pesawat ini menepi, pemberhentian sesungguhnya adalah
saat pesawat ini sampai di destinasi. Jangan sampai pemberhentian sementara
membuat kita terlena–yang pada akhirnya mengubah destinasi utama kita. Memang
ada yang lekas sampai, namun tak sedikit juga yang perlu sekian tepi baru
sampai di destinasi. Bersabarlah. Tidak ada yang salah di antara keduanya. Selama dalam proses
menggapai impian itu, kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Bertumbuhlah.
~
“Jadi rencana mau lanjut studi di
mana, Ras?”
“Di ITB, Fakultas Seni Rupa dan
Desain.”
“Aamiin YaaAllah.”
Ucapku seraya menutup
percakapan dengan doa sembari mengagumi Farras yang berikhtiar menjadi versi
terbaik dari dirinya sendiri.
Doakan, semoga impiannya Allah
wujudkan.
Joss
BalasHapusTerima kasih kak Mullll
Hapus