Persimpangan Jalan - #PlutoAdmirerSeries
“Bila pengembaraan ini bak sebuah karavan yang
menjelajahi padang pasir,
maka sungguh, bertemu denganmu, adalah destinasi
terakhirku.”
~
Persimpangan Jalan #PlutoAdmirer
Bagian Ketiga #PlutoAdmirer
Bagian Pertama #PlutoAdmirer : Pluto Admirer
Bagian Kedua #PlutoAdmirer : Desert Scream
~
“Is it too
soon?” ucap batinnya seraya menengadahkan kepala, sebab oasenya kini sudah
di depan mata.
“Kenapa, Kak?”
Tak berpikir
lama, digenggam erat tangannya. Semesta seolah sengaja memberi mereka jalan
dan ruang untuk kembali bersua. Di
tengah rintihan hujan, diterobosnya rintik itu demi dialektika yang lebih
mesra. Saat itu posisinya memang tak jauh dari kafe langganan mereka semasa SMA.
Dinginnya hujan mereka abaikan, suara orang yang menepi pun terdengar hanya
sekedar sayup-sayup cemoohan, “Who else in this world mind to run through
the rain, when no one does?”
“Mas, Vanilla
Latte 2, hangat ya.”
---
“Where have
you been?”
“Somewhere on
the corner of this world, why?” jawab wanita itu dengan raut muka
kebingungan, sebab entah mengapa justru pertanyaan itu yang ia lontarkan
pertama.
“I’ve dreamed nine times about you. Those dreams
were like a movie with many scenes. Each scenes always tell that we are
impossibly talking with each other. Until i experienced the last one.. ”
“How could it
be?” balas wanita itu, “am I that special?” lanjutnya dengan
penuh rasa penasaran.
Sesuai
dugaannya, ia tak memakan mentah umpan yang dikailkan pada kalimat terakhir
yang lelaki itu ucapkan. Bukan pertanyaan Last One yang ia tanyakan,
melainkan seolah-olah ia selalu bertanya hal-hal diluar nalar. Pertanyaan
wanita itu menandakan bahwa ia tertarik pada keseluruhan cerita. “Memang
julukan Pluto pantas kamu sematkan.” batinnya dalam hati.
“Vanilla Latte
nya Mas, Mbak.” sejenak percakapan yang mendebarkan itu putus.
Pelayan menghampiri mereka sembari menaruh dua gelas itu di atas meja. Angguknya anggun,
isyarat menyalurkan kasih lewat gerakan kepala. Lelaki yang gugup
itu kemudian menyodorkan jurnal hariannya.
“Apa ini?”
“Jurnal yang kutulis sejak SMP.”
Dibalut rasa penasaran, wanita
itu membuka cover jurnal. “Pluto Admirer’s Journal”. Begitu kalimat
pertama yang ia baca. Kalimat yang ditulis tebal-miring itu mengingatkannya
pada saat ia sering datang ke perpustakaan sekolah hanya sekadar untuk membaca
buku astronomi. Seingatnya, Pluto sudah dieliminasi dari tata surya berdasarkan
Konferensi Praha, 28 Agustus 2006 silam. Mengapa ia dimunculkan kembali sebagai
bagian dari jurnal? Pertanyaan pertama tersebut ia simpan, dengan harap bisa ia
dapatkan jawabannya saat ia membuka lembaran kedua dan seterusnya.
To
you, the most admired person I have ever had.
Thank
you for your existence.
Here lie a message from the
Vearth, an unknown place—even researchers haven’t found yet the exact distance
between the Pluto and the Vearth itself—where your admirer was born.
Page 1 of 10
There is nothing prettier in
this whole world,
Than
a girl in love with every breath she takes.
–unknown
Halaman
pertama, memang sengaja kubuka dengan sebuah kutipan yang mengingatkanku
padamu, wanita yang matanya tidak pernah berhenti berbinar saat membaca buku
astronomi. Dalam setiap hembusan nafasmu, kau tuangkan segala cintamu pada
setiap gambar bintang dengan segala tetek-bengek penjelasannya. Di perpustakaan
yang serba ada itu, terkadang kita berdebat, saling bersikukuh tentang bentuk
bumi yang entah datar atau bulat. Saling meributkan, mana yang paling jauh antara
Procyon dan Aldebaran. Hingga tiba pada suatu pertanyaan. Antara langit dan
laut, apakah memang warna birunya saling tertaut?
Ah
apapun itu, yang jelas, All living beings deserve to live fully, until the
moment of their final existence, yap?
Page 2 of 10
Wanita itu
sejenak menghembuskan nafas, matanya yang sayu tetap fokus menyoroti halaman
jurnal satu per satu.
Hari
itu bentala bergembira, sebab padang akhirnya tak lagi tandus. Rinai hujan
petang itu membasahi segala elemen di bumi, tak terkecuali tempatku menimba
ilmu. Gerbang sekolah menjadi saksi bisu ihwal persuaanku denganmu, wanita yang
entah memang riang, atau memang benar-benar menyukai hujan. Padahal saat itu
langit tengah temaram, tapi engkau tetap saja melipat dan menyemayamkan tongkat
besimu itu. Ayunan tanganmu diiringi langkah kaki yang gemulai, mulai menari
sembari menyalurkan energi, menghibur setiap makhluk yang tengah menyenandungkan
elegi.
Oh
Puan, seberapa jauh dirimu akan pergi?
Page 3 of 10
Senandungmu meluruhkan.
Menjebak
setiap mata yang tengah menilik, memerangkap telinga para mustamik, mengundang
publik pada suatu delik. Engkau jerumuskanku ke puncak bukit hamparan bunga nan
adiwarna. Sapaanmu selembut sutra, jelas mengungguli hangatnya mentari pagi. Kirana
surya memang indah menawan, tapi sosokmu jauh lebih rupawan. Kau julurkan
tangan, sekadar mengajakku berjalan-jalan. Menuruni lereng bukit, menyusuri
jalan setapak, hingga menjelajahi semak belukar bak pendekar kekar yang selalu
merasa dahaga akan petualangan yang menantang. Sejenak menepi, merasakan hawa
bunga matahari yang asri, sebelum kembali lagi pada puncak bukit, posisi di
mana aku jatuh terletak karena senandungmu yang meluruhkanku itu. Kembali menikmati
eloknya pemandangan, menafakuri nikmat Tuhan. Sejenak saling bertatapan, hingga
akhirnya engkau perlahan sirna di balik bayang. Meninggalkanku tergamang
bersama guratan tinta pada secarik galuang.
“Kunantikan bayangmu di Pluto.”
Page 4 of 10
Sebuah
notifikasi muncul dan membangunkanku dari lelap yang tak berkesudahan. Tumblr
bersenandung dengan kicauan merdu. Oh, akhirnya kamu membalas pesanku. Belum
tuntas kubuka, ternyata hanya sekadar fatamorgana semata. Semakin Aku berusaha
mengingat, semakin pula bayangmu hilang dalam benak.
Page 5 of 10
Saat itu fajar memang belum menampakkan batang hidungnya. Riuhan angin yang menderu kian melembut seiring fajar yang juga kian menggapai bibir bentala. Derap langkah kaki kian terdengar mendekat dari ujung koridor ruangan yang gelap. Sayup-sayup nada langkah kaki terdengar beriringan. Sebab rasa khawatir dibalut takut, kunyalakan senter yang tengah digenggam. Kuarahkan sinarnya tepat pada sumber suara. Bayangannya nampak berjalan lebih dahulu, ter-refleksi dari salah satu dinding. “Oalah”, kaget bukan kepalang. Rupanya kamu tengah berjalan santai bersama teman sebayamu. Berjalan terus hingga tepat saling bertatapan dengan jarak beberapa inchi dari tempatku berdiri. Pada saat itu pula, bibirnya melengkung manis, menampakkan sedikit gigi seri, memimpin ucapan salam diikuti teman-teman sebayanya tadi. Aku yang tersipu malu lantas lari terseok-seok meninggalkan kerumunan.
Page 6 of 10
Pelarian ini membawaku ke suatu kantin kuning, sekadar ingin rehat sejenak dan berbaring di atas kursi yang penampangnya tak terlalu luas. Kalau tidak salah, hari itu adalah hari ujian praktik olahraga. Senam menjadi subyek yang diujiankan di sekolahku. Tak perlu kujelaskan panjang lebar perihal itu. Yang jelas, selepas rehat, aku pergi ke ruangan kantor untuk mengikuti rapat yang entah akan membahas apa. Oh iya, Aku bertemu temanmu, Fina, yang menyambangiku seusai rapat dan memberiku tas berwarna biru berisi kosmetik. “Untuk apa?” gumamku dalam hati sembari penasaran merogoh dalam-dalam tas biru itu. Bak sebuah hidden gems, ada sebuah surat kecil yang diselipkan pada suatu permen karet. Belum coba kubuka, kamu tiba-tiba datang dan menyuruhku untuk mengembalikan surat itu nanti, “Maaf ya, kak.”cetusnya seraya menjauh. Aku yang terpatung benar-benar tak tahu harus berekspresi seperti apa. Baru ingin kubaca, tiba-tiba aku terbangun selepas rehat tepat di atas kursi kantin kuning tadi.
Ah
sial! lagi-lagi serpihan yang hilang.
Page 7 of 10
Konspirasi
Alam Semesta. Begitu judul buku yang baru saja kubeli dan kini tengah kubaca
buku itu sambil berbaring di atas rerumputan.
Bzzz…
Bzzz..
Ringtone
gawai menyala .. dan tentunya, kubuka secara spontan. Saking menikmati bacaan,
aku lupa bahwa kita tengah chat-an. Topik yang sedang dibahas ialah mengenai
dilemamu antara dua keputusan antara menjadi akuntan, atau menjadi seorang
bisnisman. “Eh. Kenapa enggak jadi Penilai aja?” candaku padanya. “Peniall?”,
“Penilaaaaaai”. Ah terserahlah. Padahal, kukira kamu ingin menjadi seorang
scientist yang meneliti bagaimana alam semesta ini bekerja. Tapi okelah. Apapun
ambisimu hari ini, dan apapun profesimu kelak nanti,
kita
masih memandang langit yang sama, kan?
Page 8 of 10
Malam
keakraban—agenda yang bertujuan untuk mempererat hubungan antara sekumpulan
insan—menjadi salah satu dari sekian kegiatan musim semi yang kujalani. Bis tua
– yang tak lagi punya nilai ekonomisnya—mengantarkan kami ke suatu pegunungan di
selatan. Dinginnya menusuk raga, membekukan pikiran tepat sesaat kulangkahkan
kaki keluar dari bis tua yang bikin gerah itu. Transisi dari hawa yang panas ke
hawa yang dingin sejenak membuatku termenung memikirkan sesuatu. Mungkin,
memang hakikatnya manusia itu selalu haus dan tak pernah puas atas apa yang
telah ia dapatkan ya.
Hari
berganti, kudapati sehari-semalam penuh dengan canda tawa.
Riang-asyik-bergembira sembari mengingat masa-masa lampau yang telah kami
jalani bersama. Petikan senar gitar yang diiringi lirik lagu lawas membuat malam
itu menjadi syahdu. Sempat sejenak kutinggalkan keramaian. Bukan karena risih
dengan keadaan, melainkan karena ada bintang di angkasa sana yang harus kujumpai
karena kilauannya yang mengagumkan. Namun sayang, sang awan terlalu protektif
dan adikara. Ia enggan menampakkan rupa sang bintang dan memprivatisasi Maha
Karya Tuhan hanya untuk kepentingan dirinya.
Page 9 of 10
Perasaan sesal itu berubah manakala bintang yang aksa jaraknya itu turun melenggang ke bumi. Spontan ku sambut dirinya yang termungut dengan sebuah dekapan hangat. Lantas ku antar sang bintang berkeliling dengan CJ-2A – mobil jeep atap terbuka untuk sipil pertama di Amerika – menuju ke Neverland, tempat yang ia impikan manakala berkunjung ke sini. “ I have no idea where should we go.” ungkapku padanya. “does it really exist?”.
Ia
menghembuskan nafas panjang, lalu melanjutkannya dengan kalimat indah yang
menembus sukma terdalam.
“Dear, let me tell you something. Life is not
always about where or when we could arrive at the destination. But life’s about
the essence of the journey itself. It’s about how the story goes, how you fight
the storms, how you face the calamities, and how you make a friend at the half
of your journey. Even at a times, you may be betrayed by the one you trusted.” ucapnya
sambil tersenyum manis, ”but if you really want to find the Neverland, now look
at the sky! Look at where all the sun, the moon, the stars—and everything in
between – are born and shine. “
Aku
yang termenung lalu menengadahkan kepala ke langit. Sebuah taman indah
bersemayam di angkasa. Ternyata, sang kabut dan sang awan Cumulonimbuslah yang
membuat taman itu tersembunyi. Aromanya yang wangi merebak ke seluruh penjuru
negeri. Kilauan cahaya warna-warninya terspektrumisasi menjadi cahaya putih nan
terang-benderang. Saking indahnya, aku bahkan tak sanggup menggambarkan secara
jelas kepada siapapun yang kelak membaca jurnal ini.
“What
do you think? It’s beautiful, isn’ it?” ungkapnya yang sedari tadi
memperhatikan kelakarku yang tengah berkontemplasi, ”This is the best thing I
have ever seen. I couldn’t even figure out that this place does exist. Thank
you for showing me something like this. This lighten up my – “
“I’m
thank God to see you happy. Now, it’s time for me to go.” Ia memotong ucapanku
seraya menghilang. Tubuh ini dengan sigap berusaha memeluknya yang mulai
menjadi serpihan. “Of course I’m really happy to see Neverland. But I’m a lot
happier when finally could meet you after a very long time. How could it be
like this?” ucapku berusaha mengais jawaban dengan rasa panik.
“Let
me introduce my self to you. I’m the princess of the sky. I got cursed and will
be shattered into fragments when I let someone see the Neverland.”
“THEN
HOW DARE YOU–?”
“As
long as you happy, It’s more than enough for me.”
Aku
yang tak kuasa menahan tangis, lalu seraya mengucapkan sesuatu yang sampai kini
kusesali.
“THIS ISN’T MY TRUE HAPPINESS! Being with you
all the time, is that what I really want to!”
Kala
mendengarnya, sang bintang turut menitikkan air mata. Dan tahukah kamu? Bahwa hal
itu, adalah kalimat terburuk yang pernah terucap. Seburuk apa diriku hingga
membuat pujaanku meringis? Kini Aku paham, bahwa untuk menemukan kebahagiaan,
tak perlu saling berusaha membahagiakan. Aku memang ingin mengetahui Neverland,
tapi alasanku ingin mengetahuinya, ialah karena Aku tahu bahwa sang Nona
tinggal di sana. Pun demikian dengan sang Nona. Demi membuatku bahagia, ia rela
mengorbankan dirinya untuk kebahagiaan semu-ku itu.
Thank you for your existence. Hope we still in each other lives.
–pluto admirer.
Realita memaksa
kita untuk menerima segala takdir yang telah ditentukan Tuhan. Kita tidak
pernah tahu, bagaimana akhir kisah kita. Yang hanya kita bisa lakukan, adalah
memilih jalan cerita mana yang ingin ditempuh. Untuk kemudian, mari sama-sama
berharap agar suatu saat kita dapat bertemu kembali pada suatu persimpangan
jalan.
Tidak ada komentar: