Desert Scream - #PlutoAdmirerSeries
In
the middle of a desert, there’s still oase to be found.
In
the night full of anxiety, there’s still hope to be felt.
j
u s t s c r e a m.
Rutinitas yang repetitif, perlahan
berubah menjadi kebiasaan yang definitif. Merdunya kicauan burung memang obat
yang mujarab sebagai pengantar mimpi.
“Mana mungkin burung merpati yang
terkurung dalam sangkar ini, tiba-tiba melanglang buana ke Pluto.” cetusnya sinis.
Piip.. piip.. piip.. alarm gawainya berbunyi. Melalui
gawai tersebut, alunan melodi menjadi pengingat bahwa waktu sudah memasuki
jadwal makan pagi. Meski tinggal sendiri, dirinya biasa menjadwal segala rutinitasnya
dengan rapi.
Sebuah foto profil yang tak asing baginya,
bertengger lengkap dengan warna merah muda di posisi paling kiri di antara foto
profil lainnya. Tanpa basa-basi, ditekannya layar tersebut oleh jemari kecilnya
yang nakal.
Sudah berapa lama ya sejak
hari itu?
---
Neverland.
Begitu letak posisinya pada cerita
yang ia unggah. Seketika jemarinya mematikan layar, menekan tombol kunci,
menutup rapat gawainya–bersama kenangan-kenangan dulu yang pernah tercipta. Karena
berbicara tentang kenangan, maka
bisa saja
bukan kedamaian yang saat itu akan kamu temukan. Melainkan, mungkin saja kamu
akan kembali tenggelam dalam lautan angan, meninggalkan jiwamu yang terluka
penuh dengan sayatan. Mungkin juga, pada persimpangan jalan, kelak bayangan
kedua insan akan terpisahkan oleh suatu goresan harapan.
Berharap suatu saat akan bertemu
kembali hanya sekadar untuk melepas kerinduan.
Dinyalakannya motor “Kharisma” tua
peninggalan ayahnya yang telah dibelinya 19 tahun yang lalu. Sambil menggendong
tas berisi kamera, ia lantas pergi meninggalkan rumahnya.
--
Semua tak lagi sama.
Mungkin itu yang sedang ada di
benaknya. Dilintasinya jembatan gantung tua yang dulu pernah ia dan teman-temannya
lewati bersama. Dengan kecepatan 30 kilometer per jam, ia benar-benar menikmati
satu per satu eloknya pemandangan—hal yang tak biasa ia temui di perantauan. “Leave
the phone, live the moment” barangkali kalimat itu yang terus
terngiang-ngiang dalam benaknya. Menyesal karena dulu ia selalu sibuk dengan
jemarinya, sedang teman-teman disampingnya tertawa ria, dan pada suatu titik meninggalkan
pertanyaan, “Seberapa sibukkah dirinya?”
---
“Kami
percaya, bahwa satu kedipan mata bisa melewatkan ribuan momen berharga.”
Sungai
yang membelah daratan, menara yang terabaikan, hingga rutinitas-rutinitas
manusia yang membosankan terabadikan dalam memori kecilnya. Sejenak berhenti,
hanya ingin memastikan bahwa satu per satu pemandangan yang ‘iconic’ baginya
bisa langsung ia unggah pada aplikasi yang sudah lebih dari belasan tahun
diakuisisi Zuckerberg itu. Dinyalakan gawainya kembali, hanya ingin sedikit menambahkan
preset yang telah ia racik ke dalam foto-foto yang akan ia unggah. “Share
to Stories” menjadi bagian akhir penyuntingannya. Dimasukannya kembali gawai tersebut ke dalam
saku celananya.
Tiba-tiba
gawainya bergetar, sebuah notifikasi email masuk kedalam gawainya.
“Kak,
boleh aku share ke temenku? dia lagi galau nih”
Sebuah
surel dari entah siapa, mendadak menghampiri kotak pesannya. “Silahkan!”
begitu balasnya. Ia memang biasa menulis jurnal yang kemudian akan ia unggah di
web pribadinya, entah siapa yang akan membacanya. Satu hal yang ia percayai,
bahwa setiap orang akan tutup usia, tapi tidak dengan tulisan-tulisannya. Bisa
saja, suatu kelak akan tulisannya itu akan dibaca penggemar rahasianya, atau
mungkin ratusan, atau bahkan ribuan orang anonim? Siapa tahu!
“Eh,
eh” atau mungkin, sang nona Pluto akan membacanya?, ”Wahaha, mustahil!”
Setelah
menempuh jarak sepersekian mil, barangkali sudah waktunya ia berpamitan dengan segala rutinitasnya. Didatangi
cafe langganannya dulu semasa SMA. Green Tea Latte yang ia pesan selalu menjadi
kawan bicara selama self-timenya.
Dibukanya satu per satu sosial media
yang pernah ia gunakan. Sosial media berlambang burung yang sedang berkicau
adalah pranala yang ia buka pertama kali. Glad to know that you are back.
Tapi sayang sekali, “You no longer can send messages to this person”,
membuatnya tersenyum kecut. Ternyata selama ini ia sudah tak diikuti olehnya.
Pada akhirnya, sebanyak apapun
pesan yang terkirim, sudah tentu tak bisa memenuhi jarak di antara mereka. Semua
perasaan dan emosi yang tersalur, bermuara pada suatu kehampaan. Hampa karena
pada akhirnya, banyak orang yang telah ia lukai atas segala sikap abainya.
Bayangkan sudah berapa banyak kilauan bintang memohon untuk bertemu sang pluto,
tapi bahkan ia tak bisa merasakaan keberadaan mereka?
Langit di luar yang sedari tadi
memperhatikan kelakarnya, tak kuasa menahan tangis. Air mata hujan akhirnya
turun diiringi riuhan angin yang menerpa dedaunan. Bukan tanpa alasan, sebab
sepertinya semua elemen tahu, bahwa rasa cemas takkan bisa dikemas. Dari
mimiknya saja sudah tampak betapa inginnya ia mempersatukan kembali kedua insan
itu dalam satu jalinan.
Tombol logout menjadi
pelampiasan atas keinginannya untuk melupakan hal yang telah lalu. Dengan
perasaan yang masih penuh gamang, ia kemudian membuka situs yang pernah
diblokir selama sekitar satu tahun oleh penguasa saat itu. Hal yang masih ia
ingat di sana adalah, bahwa ia pernah
mengirim pesan yang ia yakini takkan pernah sampai seberapa cepatpun merpati melesat
di angkasa.
.....
*pesan panjang*
...
“Bila kelak kamu baca ini, maka
selamat! Akhirnya surat yang entah udah berapa banyak kalimat tertulis,
bermuara dan pada akhirnya bertuan.”
“Masih satu bumi. Sebelum get lost,
hope i’ll never forget untuk segala goresan takdir yang pernah terukir.
Sukses pada perjalananmu yaa! Jangan lupa ibadah selalu.”
Pesan itu kemudian ditutup dengan
salam. Salam memang selalu menjadi kalimat paling mesra untuk menutup dialog—atau
lebih tepatnya monolog, sebab sebanyak apapun kalimat yang tertulis, tinta yang
terbuang, dan asa yang pernah diperjuangkan, pada akhirnya sudah tentu takkan
pernah berbalas. Salam menjadi penutup mesra sebab terselip do’a yang terpanjat
kepada Sang Pencipta, berharap meski tak dapat kembali bersua, setidaknya ia menjalani
kehidupannya dengan baik-baik saja.
Saat itu, was following for 7 years-lah
yang hanya dapat menghibur keputusasaannya.
Disibaknya
tirai yang tertutup. Dari kejauhan, tampak berlalu lalang orang-orang yang
tetap berpergian meski hujan, dan sebahagian lain yang meneduh karena mungkin hanya
tak ingin pakaiannya kebasahan. Red Scarf, Woolie Bag, Cutie Umbrella
yang dikenakan seseorang di luar kafe mengingatkannya akan seseorang.
Ya,
seseorang.
“Hmmh!”, Ia sempat berpikir
sejenak untuk kemudian bergegas merapikan segala barang yang terserak,
memasukan semuanya ke dalam tas dan langsung mengenakannya dalam beberapa gerak.
Ditinggalkannya beberapa rupiah seharga Green Tea Latte yang ia pesan,
dan langsung keluar hanya untuk mencari sosok yang ia yakini tak asing baginya.
Sayang beribu sayang, ia hilang ditengah-tengah keramaian. Mata elangnya tak
lagi berfungsi, kontestasi lari yang dulu pernah ia juarai nyatanya hanya
menjadi bagian dari sejarah yang takkan terulang kembali, nyatanya untuk
melangkahpun ia tak sanggup. Semua yang tersisa, hanyalah sebuah penyesalan.
Ia termenung di tengah derasnya hujan.
Berharap pada dirinya sendiri dua hal, yaitu takkan pernah kembali menyiakan
kesempatan di pelupuk mata, dan memiliki keberanian untuk berteriak
sekencang-kencangnya di tengah kemelut jiwa.
---
“AAAAAAH!” ia lantas berteriak sekencang-kencangnya.
Hujan mendadak mereda, entah hanya
dia. Diliriknya langit yang berubah menjadi hitam pekat, entah memang mendung
menandakan malam gulita, atau purnama yang tengah membangun sekat. Tapi lengkungan
besi membuatnya berpikir dua kali. Ternyata, ia memang sedang dipayungi.
..
“Hai, kak.”
--
Hari itu menjadi hari yang
paling bersejarah baginya.
Sebab oase yang ia dambakan,
akhirnya telah ditemukan.
~
Bagian Ketiga #PlutoAdmirer : Persimpangan Jalan
Tidak ada komentar: