Lelah - Jurnal





LELAH
Apa makna lelah bagimu?


            Dua puluh lebih follower instagramku berkisah mengenai apa makna lelah bagi mereka. Ada yang bilang, “lelah itu, sudah berusaha sekuat tenaga, tapi tak sebanding dengan hasilnya”, ada pula yang mengatakan, “lelah itu melakukan suatu hal yang tidak kita sukai dengan terpaksa”, atau bahkan pada ummnya banyak yang menulis, “lelah itu lillah”. Kepada teman-teman yang telah turut berkontribusi pada tulisan ini, terimakasih. Ketahuilah, tulisanmu menjadi salah satu alasan mengapa tulisan ini kini hadir di genggamanmu.

Sudah pada tahap manakah lelahmu itu?
            “Bissmillah, kenalkan semuanya, nama saya Dhiya Tsaltsa Muharram, biasa dipanggil dete. Saya lahir dan besar di Tasikmalaya, dan telah 12 tahun lamanya menempuh pendidikan di lembaga yang sama. Saya siap ditempatkan di divisi manapun, asal jangan desain.

            Kurang lebih, kata-kata tersebut mengawali perjalananku untuk menelusuri lebih jauh jalan pengabdian nan terjal. Acara kemarin memang berat dan melelahkan. Dengan durasi lebih dari tiga bulan, dihantui rentetan ujian, diiringi rayuan buku pelajaran, serta perjalanan yang dipenuhi dengan ketidakpastian, pada akhirnya berujung dan bermuara di satu tempat yang sama. Ia mengukir senyuman seratus dua puluh derajat ribuan insan.

            Era modern menghantarkanku pada sebuah rasa syukur. Syukur karena dapat berkomunikasi dengan jarak yang tak terukur. Sesaat menakur, bersembunyi di balik kain yang terjulur. Berbicara mengalur-ngalur, mengalihkan pembicaraan dari pertanyaan kapan pulang ke jalur. Menahan pilu hingga kain luntur, kujur, semangat mengendur, terbesit mundur, sesegera sadar, bahwa ini bukanlah sebuah uzur.

            Juga bersyukur, karena pilihan kali ini mengingatkanku akan hangatnya suasana keluarga. Emosi terdistorsi, bercampur aduk dalam satu loyang yang sama. Terkadang menyalahkan, hingga larut malam menjelang. Terkadang tertawa, ceria, karena dipersatukan oleh sebuah ‘Garuda Muda’ yang terdendang. Dentuman bass speaker menggema ke seluruh penjuru semesta. Menyibak gerigi putih, membantu bulan untuk menyinari angkasa sembari letih tertatih-tatih. Katanya, biarlah alunan melodi ini berperan menjadi sebuah petitih bagi mereka yang selalu merengek bak daun yang meretih.

            Halo raka, halo rakanita!”
            Sapaan hangat masa itu menjadi energi tersendiri bagi kami. Memberi jutaan makna pada sebuah kata ‘abdi’. Berdiri sambil terilhami, bahwa PUEBI tak cukup mendefinisikan arti sebuah ‘abdi’. Ribuan derapan langkah kaki menjadi saksi, bahwa semangat regenerasi diinisiasi oleh sebuah narasi. Berharap mereka menyadari, “bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri!”.

            Langit terik, menspektrumkan dirinya menjadi suatu cahaya yang terang, perlahan ribuan insan menyeruak memenuhi gelanggang, bersiap bersua bersama melepas rasa tegang. Selepas bulir keringat yang membangkang, setelah bersua bersama merah mulia, kini saatnya mereka ria berlenggang rasa.

              "Rakanita.. semangat ya!"
            Lorong itu menjadi saksi bisu ucapan yang tak lagi dapat tertahankan. Demi sebuah pergelaran, setiap insan berlomba-lomba dalam pengabdian. Malam mereka campakkan, sibuk menulis angka yang bukan lagi sekedar hiasan. Karena mereka paham, bahwa pengorbanan diperlukan untuk kesuksesan suatu persembahan.

            Satu kata terlontar, diiringi perasaan gemetar.  Sesaat masa terhenti. Ia menoleh, ingin tahu siapa gerangan  yang telah memanggilnya tadi. Barangkali ia terkaget, karena yang memanggilnya ialah seseorang yang entah siapa. “Semangat ya!” ujarnya sambil tersenyum merona. Tak disangka-sangka, ia membalas serupa. Senyuman manis yang tiada ketara. Pada akhirnya mereka berbalik badan, dan saling meninggalkan.

            Darinya, ia belajar satu hal. Bahwa cara mengatasi titik tertinggi rasa lelah itu, ialah dengan menikmatinya.

            Menikmati, hingga saat penghujung masa sekalipun, tetap meneduh disana, hanya karena tak ingin masa merebut suasana yang terlanjur menetap dalam sukma.

           Tapi naas, masa memaksamu untuk melepas nikmatmu, dan memojokkanmu dalam ruang sendu. Menyisakanmu dengan segala sisa-sisa sedih dan pilu. Menyisakanmu dengan segala penyesalan, yang tak kamu lakukan selama ada kesempatan.

Lelah memang bila dipikirkan. Tapi bagaimanapun, lelah akan memberikanmu kado berisikan kenangan, yang mungkin, akan selalu kamu simpan setelah derai perpisahan.

          

4 komentar:

  1. lelah bagi segelintir orang adalah bahan bakar kehidupan tetapi tentu saja pada kutub yang lain ada yang menghindari kelelahan

    BalasHapus
  2. Membaca tulisan mu membawa saya mengingat hari-hari setahun yang lalu, betapa bahagianya saya saat itu, dan betapa rindunya saya pada rasa lelah itu. makasih Raka Dete, raka mungkin saat ini juga sedang lelah, tapi sebagaimana tulisan raka sudah mematik semangat saya kembali, saya harap raka juga terus semangat menulis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin, saya salah menerka.
      Tapi, Terima kasih sudi mampir Rakanita!
      Dari sekian tulisan yang berkaitan dengan seseorang, nampaknya hanya tulisan ini yang bertuan. Terima kasih telah menginspirasi tentang makna 'Lelah'.

      Terima kasih jua atas harapannya, bissmillah. Semoga dapat senantiasa semangat utk menulis B)

      Hapus

Diberdayakan oleh Blogger.