Yang Akan Selalu Terkenang - Esai Hari Guru



Yang Akan Selalu Terkenang
Oleh : Dhiya Tsaltsa Muharram
(Terinspirasi oleh Magnivica & Ijonk)

            “Kalian itu tidak lebih dari sekedar sampah! …



            Tak terasa, waktuku untuk sebuah awal dari sebuah akhir kian mendekat. Suatu hari yang sangat ditunggu bagi sebagian orang. Suatu hari, yang mana segala rasa akan terlebur menjadi satu. Layaknya ketujuh warna pelangi yang terspektrumisasi menjadi cahaya putih nan terang. Suatu hari yang bahkan sebelumnya tak pernah terbayangkan dengan jelas dalam benakku. Kemana aku harus melanjutkan perjalananku, bis mana yang harus aku harus tumpangi, dan jelasnya, apakah aku telah siap untuk menjadi manusia seutuhnya?

            Adalah SMA Al Muttaqin “Fullday School” Kota Tasikmalaya.  Bis indah yang mengantarkan kami berkelana selama tiga tahun lamanya. Mengantarkan mimpi lima ratus penumpangnya kepada satu tujuan. Agar menjadi manusia seutuhnya.

             Tepat 14 Juli 2014, bis ini mulai melaju. Awalnya, kami yang dilabeli sebagai makhluk sosial, bahkan kala hari itu kami memalingkan muka dari satu sama lain. Seolah-olah tak ingin tahu dengan urusan orang lain.  Namun seiring roda berjalan, kami tahu bahwa yang kami lakukan itu adalah sebuah kesalahan. Hal itu kami sadari, ketika melihat sosok yang mulai tampak dari balik bayang. Aku pandangi bayangan-bayangan tersebut kian tampak, dengan keadaan tak sabar, kian detik dada kian berdebar.

            Pada mulanya langit terik, membuat mata sakit melawan harapan-harapan yang dulu begitu terang. Sampai akhirnya langit perlahan mendung membiru kala sosok bayangan tersebut mulai berucap. Tak banyak yang mereka ucapkan. Hanya sepatah kata menyambut keberangkatan para penumpang. Kembali para penumpang dibuat bingung atas apa yang telah sosok tersebut ucapkan. Mendengar kalimat pertama saja, kami dibuat kaget. Katanya, kami tak lebih dari sekedar sampah.  Selebihnya, kami mulai berfikir keras. Karena kami tahu, bahwa esok kami pasti akan bertatap muka kembali dengan sosok-sosok yang lain. Mungkin, benar kata Ijonk. Perjumpaan selanjutnya adalah lorong gelap yang tak kunjung bercahaya kecuali harapan di dada yang menyala-nyala menuntutku agar terus melangkah.

            Perjalanan kami tak selamanya indah. Pada tahun pertama, kami harus merelakan penumpang—yang telah kami anggap teman, untuk turun dan pindah dari bus ini ke moda transportasi yang lain. Walaupun begitu, kami urung menyebutkan perjumpaan selanjutnya dengan sosok-sosok bayangan yang lain adalah sebuah lorong yang gelap. Justru sebaliknya, mereka menjadi cahaya terang benderang, yang menerangi perjalanan kami dengan hati nuraninya.

            Anggapan bahwa kami sampah adalah benar adanya. Seringkali kami mengabaikan nasihat-nasihat yang mereka ajarkan. Anggapan bahwa manusia adalah makhluk egosentris benar adanya. Kami terkadang lebih mementingkan angka bernilai hampa daripada untaian kata bermakna. Kami terkadang lebih sering membuka buku ketika ulangan daripada membaca buku ketika waktu senggang. Naas memang.

Kini tibalah pada sepertiga akhir perjalanan kami, terkadang kami menyesal atas apa yang telah kami lakukan. Tak terhitung seberapa besar dosa yang pernah kami lakukan pada mereka. Mereka tetap menerima kami apa adanya dengan segala kekurangan yang kami miliki. Tak terhitung seberapa deras keringat yang mereka cucurkan. Sosoknya seolah-olah selalu sigap untuk dapat tersenyum dibalik rasa kekecewaan yang mendalam.

Ya, sosok bayangan  tersebut tak lain adalah guru.

Aku beruntung ditakdirkan Allah untuk berada di bis ini. Aku bertemu sosok guru yang sangat beragam. Ada yang berperangai santai, disiplin dan bahkan tegas. Al Muttaqin lebih mirip sebagai tempat penitipan anak daripada sekolah. Pembinaan karakter kuatlah yang menjadi alasan utamanya. Walaupun begitu, mereka membuat kami nyaman agar terus berada di bis ini hingga akhir perjalanan kami.

Meski sekadar untaian kata yang tak terlalu bermakna, menyapamu meski sekata, adalah kebahagiaan yang tak bernama. Terimakasih telah menjadi oase hijau di tengah padang pasir yang tandus. Selama ini, mungkin hanya tengkorak mati yang aku temukan. Sampai suatu ketika aku bertemu denganmu para pahlawan yang menuntunku hingga akhir. Tak peduli bila bus ini berganti seiring roda masa yang takkan pernah kembali, tak peduli bila raja siang mendorong menggantikan eloknya sang purnama. Sampai kapanpun, engkaulah yang akan selalu terkenang tanpa sengaja.

Pada akhirnya, kami kemudian menyadari kalimat yang dilontarkan oleh kepala sekolah dulu adalah sesuatu yang benar.

 “Kalian adalah sampah. Biarkan sekolah mengolah kalian agar menjadi barang yang berguna kelak di masyarakat”.


Terimakasih sudah membaca Teman!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.